Senin, 18 Januari 2010


Pribadinya
Ayahnya adalah: Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani. Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda:
"Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu."
Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.
Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Rasulullah Saw. Seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah. Keturunannya yang mulia, selanjutnya mengalir dari Hasan, Husain, Muhammad bin Hanafiah, Umar dan Abbas. Karena kecintaan dan penghormatannya yang mendalam terhadap sahabat Nabi yang mulia, dan yang telah dijanjikan masuk surga, maka ia menamakan beberapa orang anaknya dengan nama-nama mereka, yaitu: Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Abu Bakar, anaknya, terbunuh bersama Husain dalam peristiwa Karbala. Anak ini merupakan anak dari isterinya, Laila bin Mi'waz. Sementara anaknya Utsman yang dilahirkan dari isterinya Ummu Banin, juga terbunuh dalam perisitwa Karbala. Sedangkan Umar adalah anaknya dari Ummu Habib ash Shahba.
Saat imam Ali mendapatkan mati syahid, ia meninggalkan 4 orang isteri yang merdeka, yaitu: Umamah, Laila, Ummu Banin dan Asma bin 'Umais. Serta delapan belas orang hamba sahaya wanita. Jumlah seluruh anak laki-lakinya adalah 15 orang dan anak perempuannya adalah 18 orang. Ahmad mentakhrij dari Abdullah bin Ruzain, dia berkata,” Aku pernah masuk kerumah Ali bin Abu Thalib pada hari Idul Adha. Beliau menyuguhkan daging angsa kepadaku. Aku berkata , ” Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepadamu, karena engkau menyuguhkan makanan ini, berarti Allah memang telah melimpahkan kebaikan kepadamu.” Ali berkata, ” Wahai Ibnu Ruzain, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Tidak diperkenankan harta Allah bagi seorang khalifah kecuali sebanyak 2 takaran saja, satu takaran dia makan bersama keluarganya, dan satu takaran lagi yang harus dia berikan kepada orang-orang.”
f. Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar. Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudian berkhutbah di depan jama’ah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Thalib r.a. Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Bait dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu 6 bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat. Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
g. Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 dan terakhir dari suatu daulat (dinasti), yang di dalam sejarah Islam dikenal daulat Khulafaur Rasyidin. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib itu bertepatan pada bulan Dzulhijjah tahun 35 H/656 M, dan beliau memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap beliau pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M . Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali. Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ibnu Asakir mentakhrij dari Ali bin Rabi’ah, dia berkata, “ Ja’d bin Hubairah menemui Ali seraya berkata, “ Wahai Amirul Mukminin, jika ada 2 orang yang menemuimu, yang pertama lebih mencintaimu daripada cintanya kepada dirinya sendiri, keluarga dan harta bendanya, sedangkan yang kedua akan membunuhmu andaikan dia bias membunuhmu, maka bagaimana engkau akan memutuskan perkara diantara keduanya?”. Ali menjawab, “aku terlepas dari apa yang ada dalam hati mereka. Apa yang aku lakukan adalah semata karena Allah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar